Tour de Celebes: Toraja, The Amazing Grave 2 (Day 5 Part 1)

 Sabtu, 10 Januari 2015. Saya berhasil bangun pagi, pukul 05.00 WITA. Niat hati, pagi itu ingin renang di fasilitas hotel. Berhubung hawa pagi itu sangat dingin, lebih baik membuat segelas kopi untuk bersantai sambil packing. Apalagi nanti malam sudah berangkat kembali ke Makassar dan pukul 12.00 sudah harus check out.

Pukul 07.00 kami semua sudah selesai packing, dan kami sepakat untuk sewa 1 kamar untuk separuh hari. Lumayan bisa digunakan untuk istirahat sejenak dan mandi-mandi sembari menunggu bis datang, karena kabarnya bis baru sampai di depan hotel sekitar pukul 22.45.

Setelah administrasi beres, kami segera sarapan karena Mas Charles sudah datang menjemput. Menu pagi ini tidak jauh beda dengan menu kemarin: nasi goreng, mie goreng, telor ceplok, jus tamarillo (terong belanda), teh, dan kopi.

Pagi ini kami, sesuai rencana kemarin, akan menjelajahi Kabupaten Tana Toraja, karena Kabupaten Toraja Utara sudah selesai dijelajahi kemarin. Tapi, dari Mas Charles ada bonus tersendiri. Rupanya hari itu di daerah Toraja Utara dekat Rantepao sedang ada upacara syukuran tongkonan. Maka, kami beranjak ke arah utara dulu.
Babi yang akan dipotong diletakkan pada tandu yang dihias 

Suasana syukuran Tongkonan

Upacara syukuran tongkonan ini sangat berbeda dengan upacara kematian. Tapi kedua-duanya ini sangat disakralkan, jika dibandingkan dengan pesta pernikahan. Pesta pernikahan di Toraja biasanya akan selesai hanya dalam 1 hari, lain halnya kalau di Jawa bisa sampai 3-7 hari. Pesta syukuran tongkonan baru selesai paling cepat dalam 3 hari. Pesta kematian juga baru selesai sekitar 3-7 hari.

Bukan lautan hanya kolam babi...

Makanan khas Toraja saat pesta syukuran Tongkonan: yang atas mirip nasi kucing lauknya ikan teri balado, yang bawah mirip lepet tapi dari ketan hitam, satunya lagi mirip lepet tapi asin

Pada pesta syukuran tongkonan ini, tidak ada kerbau yang dipotong. Semuanya hanya babi. Babi yang besar-besar yang diletakkan dalam tandu yang dihias. Masing-masing babi adalah sumbangan dari tiap pokok keluarga dalam pohon keluarga. Maka, babi dianggap sebagai simbolisasi kehadiran keluarga dalam upacara tersebut. Inilah kenapa di Toraja pohon keluarga sangat penting, karena dalam setiap acara di Toraja selalu melibatkan seluruh keluarga, mulai dari pendahulu-pendahulu sampai anak-anak yang paling kecil. Jika pada acara syukuran tongkonan ini ada keluarga yang belum menyetor babinya, biasanya ditunggu lebih dulu, sampai nanti semuanya lengkap. Baru syukurannya dimulai. Pada acara syukuran tongkonan ini, karena pentingnya pohon keluarga, maka tulisan silsilah keluarga ditempel di depan rumah. Biasanya pada keluarga yang sudah besar, panjang kertas bisa mencapai 3-4 meter dan tinggi kertas 0,5-1 meter. Tergantung besar tulisan juga.
Kertas berisi silsilah keluarga yang ditempel di depan tongkonan. Panjangnya, menunjukkan betapa silsilah keluarga, sejauh apapun itu, sangat penting di Toraja

Di pesta syukuran tongkonan ini kami sempat mengobrol dengan seorang pendeta yang pernah tukar mimbar di Jogja. Kami disuguhi dengan makanan khas syukuran di Toraja yang entah saya tidak tahu namanya. Yang jelas, yang 1 mirip nasi kucing, yang 1 mirip lepet, yang 1 mirip dange seperti yang dibeli 2 hari lalu. Yang mirip nasi kucing isinya adalah nasi ketan hitam dengan ikan asin balado.

Karena hari semakin siang, dan masih banyak obyek yang belum dikunjungi, kami akhirnya pamit dengan keluarga yang ada disitu. Kemudian kami melanjutkan perjalanan kami. Tujuan selanjutnya adalah Pallawa di utara Rantepao. Katanya, disitu terdapat tongkonan kuno terbesar di Toraja dengan jumlah tanduk kerbau yang banyak.
Pallawa

Perjalanannya cukup lama dari lokasi syukuran tongkonan tadi, sekitar 30 menit karena harus lewat tengah kota Rantepao. Tapi jalan menuju ke obyek sudah bagus dan sudah berbeton. Setiba disana, kami hanya berfoto sejenak karena rata-rata bentuk tongkonan juga hanya seperti itu. Bedanya, di Pallawa ini beberapa tongkonannya masih digunakan sebagai tempat tinggal. Kami kemudian melanjutkan perjalanan. 

Pilihan kami adalah ke Batutumonga atau langsung ke Kalimbuang Bori’. Batutumonga adalah sebuah tempat di ketinggian Toraja Utara untuk melihat view, semacam gardu pandang. View yang terlihat adalah Kota Makale, Kota Rantepao, dan Kota Palopo. Sementara Kalimbuang Bori’ adalah tempat situs megalit. Karena pertimbangan waktu, karena untuk ke Batutumonga membutuhkan waktu 2 jam pp, kami memilih untuk pergi ke Kalimbuang Bori’ saja.

Perjalanan lagi-lagi tidak butuh waktu lama, sekitar 20 menit saja, akses jalan pun juga sudah bagus, meskipun bukan jalan beton. Situs megalit ini terdiri dari batu-batuan yang sudah ada sejak jaman dulu. Selain itu, makam-makam di situs megalit ini cukup unik. Biasanya kalau makam lain berbentuk dinging batu yang besar kemudian dilubangi, dinding kapur lalu dilubangi, atau diletakkan dalam goa, kali ini makamnya berada di dalam sebuah batu yang besar yang kemudian dilubangi. Satu batu besar bisa digunakan sampai 6 liang dan 1 liang bisa digunakan untuk banyak anggota keluarga karena kabarnya dalam liang sendiri ukurannya sekitar 3x4x0,75 meter. Pembuatannya hanya dengan menggunakan pasak manual, tidak pakai mesin untuk memotong batu. Selain makam berbentuk batu, di Kalimbuang Bori’ ini terdapat makam di pohon Tarra’. Tetapi jumlahnya hanya sedikit, jika dibandingkan dengan di situs Kambira. Makam di pohon ini dikhususkan untuk bayi yang belum punya gigi yang meninggal. Sedangkan untuk bayi yang sudah punya gigi, pemakamannya mirip dengan pemakaman orang dewasa.

 Kumpulan menhir

 Batu kepala kerbau, ini cara buatnya dipahat langsung di batunya

Makam bayi di pohon Tarra', mirip dengan yang ada di situs Kambira

Setelah cukup puas, kami melanjutkan perjalanan lewat jalur desa untuk menuju ke Rantepao untuk makan siang. Pilihan Mas Charles sangat tepat untuk lewat jalur desa. Kami melihat rumah tongkonan dan allang yang modern, mungkin milik orang kaya. Kaki-kaki tongkonan dan allang tidak terbuat dari kayu seperti pada umumnya, tetapi terbuat dari beton.

Perjalanan berlanjut. Kali ini Mas Charles ingin menunjukkan kerbau yang memiliki tanduk dengan panjang rentang sekitar 2,5 meter. Kerbau, dalam bahasa Toraja disebut sebagai Tedong. Ada 2 jenis kerbau yang terkenal karena harganya di Toraja, yaitu Tedong Saleko dan Tedong Bonga. Tedong Saleko adalah kerbau dengan warna belang hitam putih di seluruh tubuhnya. Tedong Bonga adalah kerbau dengan belang putih di daerah kepala dan leher. Untuk harganya, Tedong Saleko bisa mencapai 1 milyar, sedangkan Tedong Bonga sekitar 500 juta. Di pesta kematian yang saya hadiri kemarin ada 1 ekor Tedong Bonga. Kerbau yang saya lihat ini, yang memiliki panjang tanduk hingga 2,5 meter ini, adalah jenis Tedong Ballian (orang sekitar mengucapkannya Ballien). Sudah ditawar oleh seorang saudagar dengan harga RP 500 juta. Tetapi pemilik hanya mau melepaskan jika dibeli dengan harga Rp 600 juta. Ada 2 ekor Tedong Ballian, 1 ekor Tedong Saleko, dan 2 ekor Tedong Pudu’ (kerbau hitam biasa). Di Toraja, semakin banyak belang hitam-putih dan semakin unik tanduknya, harga kerbau akan semakin mahal.

 Katanya, salah satu jenis Tedong Saleko

Tedong Ballian yang panjang tanduknya bisa sampai 3 meter

Setelah puas melihat dan mengelus kerbau, kami kembali berangkat menuju Kota Rantepao. Berhubung kemarin sudah seharian penuh makan makanan haram, kami bersepakat untuk makan makanan yang halal: Nasi Padang. Hanya ada 1 rumah makan padang di kota Rantepao ini. Akhirnya, dengan membayangkan kuah rendang yang enak, kami bergegas menuju rumah makan padang (jauh-jauh Cuma makan padang). Sampai di lokasi, ternyata sedang tutup. Kami mengalihkan kunjungan kami ke sebuah Rumah Makan Muslim di samping pembelian tiket PO Bintang Prima. Rumah makannya gaul, pemesanannya pakai bahasa Jawa bisa karena ternyata penjualnya, berikut seluruh karyawannya, adalah orang Solo yang sudah tinggal di Toraja 11 tahun. Masakannya, ayam goreng, gado-gado, bakso, mie ayam, semuanya rasanya khas Jawa Tengahan, manis.

Per orang kena Rp 21.000 untuk makan, nasi, dan minum. Ini makan ter murah selama di Toraja. Sebelumnya, untu seporsi Nyuk Nyang dikenai biaya Rp 25.000. Kemudian Piong Babi dan nasi per porsi kena Rp 35.000. Memang yang otentik itu mahal.

Setelah makan, kami berangkat kembali. Kali ini tujuan kami adalah Kabupaten Tana Toraja. Sebelumnya, kami mampir kembali ke toko kopi Toraja yang kemarin kami mampir untuk membeli titipan tambahan dari kolega di Jogja dan Surabaya.

Kemudian perjalanan kami lanjutkan. 3 tujuan terakhir kami adalah Lemo, Kambira, dan Suaya di daerah Sangalla. Ketiga-tiganya adalah wisata pemakaman, tapi semuanya khas. Kami ingin mampir ke Makulla, kabarnya ada pemandian air panas disana. Tapi karena di hotel sudah tersedia air panas, akhirnya tidak jadi.
Situs Lemo

Tujuan selanjutnya adalah Lemo. Lemo ini hampir sama dengan Kete’ Kesu. Pemakamanya berupadinding batu terjal yang dilubangi, tetapi tidak ada goanya. Disini kami bertemu seorang turis mancanegara dari Tasmania. Beliau juga sedang berkunjung ke Toraja dan beberapa daerah Indonesia, backpackeran sepertinya.

Setelah puas melihat-lihat, kami melanjutkan perjalanan ke Kambira. Perjalanan ke obyek wisata di Tana Toraja ini lama karena akses jalannya jelek dan sempit.

Beberapa view selama perjalanan lewat jalan kampung

Setibanya di Kambira, kami langsung disambut oleh seorang guide lokal. Beliau menjelaskan tentang makam dalam pohon ini. Usianya sudah lama sekali, karena pemakaman bayi terakhir disini pada tahun 1950. Beberapa bagian yang pernah menjadi makam, sudah tertutup sempurna. Pohon tersebut pernah tumbang bagian atasnya 8 tahun yang lalu, tetapi sekarang sudah bertunas lagi. Pemakaman bagi di pohon sudah tidak dilaksanakan sebagian besar masyarakat Toraja lagi karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama.
 Pohon Tarra' di situs Kambira. Usianya sudah sangat tua dan 8 tahun lalu pernah hampir tumbang

 Salah satu lubang bekas makam bayi yang sudah menutup

Ini adalah boneka kecil yang dibungkus kain putih, permintaan dari arwah bayi

Setelah dari Kambira, kami bergegas ke obyek kami terakhir selama di Toraja: Suaya, Sangalla. Perjalanan lagi-lagi sangat lama karena obyek tersebut sangat mblusuk, jauh di belakang kota Makale. Di Suaya ini, rupa-rupanya baru saja ada orang dimakamkan. Orang tersebut tidak lain tidak bukan adalah ibunda wakil bupati Tana Toraja. Kabarnya, ketika ibunda Wabup Tana Toraja ini dipestakan, seluruh warga Kabupaten Tana Toraja mendapatkan daging babi dan kerbau. Dan kabarnya pula, ada 100 ekor kerbau yang dipotong. Wow! Selain makam yang ditanam dalam dinding batu, di Suaya ini ada juga makam pada umumnya seperti di Jawa, yaitu ditanam dalam tanah. Mungkin, yang ditanam dalam tanah ini biasanya orang yang beragama Muslim, atau kadang-kadang memang permintaan dari almarhum sendiri.



Beberapa pemandangan di Situs Suaya. Makam dengan kain merah adalah makam baru, Ibunda Wabup Tana Toraja


Dan inilah obyek terakhir kami di Tana Toraja. Waktu masih menunjukkan pukul 16.00, seharusnya tadi masih sempat melihat Batutumonga. Tapi tidak apa-apa lah. Kami memutuskan untuk nongkrong sejenak di pusat kota Makale untuk menikmati pisang goreng dan saraba. Lagi-lagi kami dilewatkan jalan desa dengan pemandangan yang wow.

Setibanya di pusat kota Makale, kami langsung memesan saraba dan pisang goreng. Sementara saya pergi ke lapak seberang untuk membeli sate dan gorengan, yang lagi-lagi penjualnya adalah orang.......Madura. Dasarnya memang orang Madura, Padang, Batak, dan Jawa ini selalu ada di setiap sudut kota di Indonesia. Berhubung di dekat situ juga ada penjual martabak, saya membeli martabak dengan harapan martabaknya khas Toraja. Dan ternyata yang jual........orang Surabaya. Ya sudahlah, sudah takdir.
 Segelas Saraba' Telur panas tersaji di tepi Danau Makale


 Patung Lakipadada sore hari

Plaza Toraja, tempatnya AGT (Anak Gaul Toraja) berkumpul dan berolahraga sore. Tenang sekali suasananya

Pukul 17.30 kami beranjak dari Makale menuju ke hotel. Perjalanan di Tana Toraja harus berakhir malam ini, sebuah tempa dengan kenyamanan dan kebahagiaan yang berlebih. Daerah yang sampai hari terakhir saya pergi tidak ditemukan gondhes-gondhes urakan dan anak-anak kecil atau orang tua yang menengadahkan tangan untuk mengemis. Sebuah kabupaten yang subur makmur dengan tanah yang baik.


Pukul 18.30 kami tiba dihotel dan segera berpamitan dengan Mas Charles yang sudah menemani kami selama di Toraja dalam 2 hari ini. Kami kemudian berkumpul dalam 1 kamar yang sudah kami sewa sebelumnya untuk bersiap dan makan malam.

Komentar

Postingan Populer