Tour de Celebes: Pelangi di Balik Megahnya Pinisi (Day 2 Part 1)

Rabu, 7 Januari 2015. Pagi masih gelap. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00. Sepi. Hanya ada satu atau dua motor dengan knalpot blombongan lalu-lalang. Saya segera terbangun dari tidur, bergegas cuci muka untuk melihat sunrise. Pagi itu tampaknya mendung. Saya jadi kurang semangan karena hampir dipastikan tidak ada sunrise yang menawan pagi ini. Saya bergegas pergi dengan motor, sejenak mampir ke pantai barat. Sepi, pantai sedang surut dengan banyak sampah laut di pantai. Pemandangan kurang menyenangkan, lebih baik ke pantai timur, dekat pelabuhan. Gerimis mulai menerjang. Niat saya semakin kempes. Tanjakan dekat pelabuhan saya lalui dengan malas-malasan. Tapi, begitu sampai di puncak tanjakan, pandangan saya alihkan ke arah timur. Dan wow, langit yang sedang merekah orange kekuningan dihiasi awan berwarna abu-abu. Wow sangat indah sekali. Segera motor saya pacu menuju lokasi pembuatan kapal Pinisi.

 Saat fajar menjelang di lokasi pembuatan Kapal Pinisi, foto tanpa editing, tanpa filter

Begitu sampai, langsung saya lari ke pantai dan...indah sekali sunrise pagi itu. Berlatar belakang langit yang berwarna orange dan kapal pinisi, saya memotret kondisi sekitar. Dan tanpa sadar...di depan kamera saya ada orang mandi.....dan kegiatan memotret saya hentikan sampai orang tersebut selesai mandi.

Tanpa sadar keasyikan memotret, tak terasa air hujan mulai turun perlahan. Saya beranjak kembali ke motor, tapi begitu melihat ke belakang saya kembali dikejutkan: ada pelangi yang membentang di belakang kapal Pinisi. Pemandangan yang sangat indah pagi itu, dihiasi rintik hujan yang syahdu. Cahaya kuning menembus pepohonan dan membuat kondisi sekitar pondokan juga berwarna kuning.
Setelah puas menikmati sunrise, saya bergegas kembali ke arah Tanjung Bira, mengingat beberapa pekerja sudah mulai datang di lokasi pembuatan kapal pinisi. Sejenak saya mampir pelabuhan untuk mengambil uang di ATM. Antrian bertambah panjang, tetapi isinya hanya truk dan kendaraan pribadi. Kabarnya bis yang kemarin saya tumpangi dan beberapa mobil pribadi sudah berangkat ke Selayar dengan KM Sangke Pallanga, tadi pagi pukul 03.00. Sementara KM Bontoharu masih sandar karena mesin rusak. Setelah menikmati fajar sejenak di gerbang pelabuhan, saya kembali ke area Tanjung Bira. Kali ini saya menuju ke pantai untuk istirahat sejenak. Sangat sepi pantainya, masih terlalu pagi mungkin. Hanya ada beberapa orang saja. Pantai sangat kotor pagi itu karena air sedang surut sehingga sampah bertebaran. Angin juga masih besar.
 Pelangi di balik megahnya Pinisi


Kayu bahan balas kapal

Karakteristik pantainya pasirnya putih dan sangat halus. Tetapi ketika digali lebih dalam, pasirnya akan menjadi semakin kasar dan berbatu. Pasir terluar halus seperti tepung terigu. Beberapa bagian pasir terdapat potongan-potongan batu karang.
Pelabuhan Bira sangat padat pagi itu

Sebelum beranjak siang, karena pukul 09.00 saya sudah memesan mobil plat kuning untuk menuju ke Makassar, saya bergerak menyelusuri kembali jalan tikus. Kali ini menuju arah hotel Amatoa dan sebaliknya, ke arah perkampungan yang mungkin dihuni oleh orang-orang Suku Kajang Amatoa. Tapi saya memutuskan tidak masuk lebih jauh ke area perkampungan tersebut. Kabarnya, jika benar itu perkampungan Suku Kajang, perlu pemandu lokal yang bisa menunjukkan banyak hal.

Saya akhirnya kembali ke hotel untuk mengambil breakfast. Sudah pukul 07.10 WITA. Masih sangat pagi, sementara breakfast ternyata baru buka pukul 08.00. Saya mandi sejenak, lalu keluar lagi dengan motor. Saya ingin menyelusuri lebih lanjut jalan daerah esek-esek semalam. Ternyata ujung jalan tersebut masuk ke hutan-hutan, yang kabarnya bisa tembus sampai ke Pantai Bara, sebuah pantai pasir putih yang tidak kalah menawannya dengan Bira. Saya memilih tidak meneruskan karena takut kejauhan. Saya memilih pulang lewat jalur alternatif, lewat tepi tebing di atas Pantai Bira, lalu tembus ke Rumah Makan kapal.
Jalan menuju Pantai Bara

Tiba di hotel saya disambut oleh pemilik hotel yang sedang mengobrol dengan tamu hotel dari luar negri, bule. Sepertinya mengobrol tentang suatu hal pribadi. Saya menikmati breakfast yang diberikan, berupa 2 potong roti bakar, telor ceplok, dan segelas teh tawar yang bisa ditambahi gula sendiri, diantarkan oleh anak pemilik hotel yang perempuan yang untuk ukuran orang Indonesia termasuk dalam kategori eksotis. Pemilik hotel mengingatkan kembali kepada saya bahwa mobil akan menjemput pukul 09.00. Sebelum naik untuk packing akhir, karena packing sudah saya lakukan semalam, saya melunasi biaya hotel dan sewa motor dulu sebelumnya. Sembari ngobrol sedikit banyak dengan pemilik hotel dan tamu bulenya. Mulai dari tanya snorkelling dan diving, hingga ngobrol tentang Mahameru, Karimunjawa, dan Baluran. Niatnya ke Bira sih ingin mencoba diving, karena kabarnya diving di Bira ini bisa tanpa sertifikat selam. Ternyata kabarnya sekarang sudah tidak bisa, semenjak meninggalnya sang pemilik diving camp Bira. Jadi sekarang harus ambil short course dulu 5 hari, baru bisa free dive 2 hari. Setidaknya habis sekitar 2,2 juta untuk bisa diving. Tapi dari foto-fotonya diving di Bira, sepertinya dijamin puas.
Breakfast pagi itu: Telor ceplok, roti bakar, teh panas

Pukul 09.10 saya bergegas naik ke kamar, packing, dan kembali memakai sepatu. Kemudian saya turun kembali dan bersiap untuk kembali ke Makassar. Saya memilih memakai mobil plat kuning kali ini karena jadwal kapal Bira-Selayar yang amburadul. Takutnya kalau kapal lagi-lagi tidak berlayar, berarti tidak ada bis Selayar-Makassar yang jalan. Sementara hotel di Makassar sudah saya book jauh-jauh hari untuk hari ini. Daripada hotelnya hangus, atau tidak bisa dinikmati, saya pilih naik mobil plat kuning saja. Toh waktu tempuhnya sama, 5 jam, dan pasti tidak ngompreng. Kata pemilik hotelnya sih.
 Si embek aja minum Guinness

Pukul 09.20 saya sudah siap dan turun kebawah, sekalian check out hotel. Sembari menunggu, saya mengobrol kembali dengan pemilik hotel dan sepasang mahasiswa dari Unhas, Ago (kalau tidak salah nama, cowok) dan Sri yang datang ke Tanjung Bira dengan sepeda motor dari Makassar. Sekitar pukul 09.30, mobil plat kuning yang menjemput saya akhirnya datang. Sebuah mobil Avanza Type E berwarna biru telur. Saya anggap perjalanan memakan waktu 6 jam, maka sekitar pukul 15.30 saya akan tiba di Makassar.
Salassa Guest House, monggo disimpan kontaknya

Pak sopir menjalankan mobilnya perlahan-lahan meninggalkan Bira. Masih cukup muda, sekitar umur 35 tahun mungkin. Penumpangnya hanya ada saya dan 1 orang penumpang perempuan yang kabarnya akan ke Selayar tapi tidak jadi karena cuaca buruk. Mobil dibawa pada kecepatan stabil sekitar 60-80 km/jam. Meskipun ada penumpang di kiri kanan jalan, jika di dekatnya ada mobil plat kuning juga, bapak ini memilih tidak mengambil penumpang. Sepertinya penumpang dari Makassar ke Bira sebelumnya sedang bagus.

Perjalanan mulai memasuki Kota Bulukumba. Pak sopir memilih masuk kota, tidak lewat jalur luar. Kemudian mobil memasuki daerah perkampungan dan berhenti. Saya kira akan menurunkan penumpang perempuan di depan saya. Ternyata pak sopir pulang kerumahnya, masuk sebentar, lalu keluar lagi membawa plat nomor hitam. Plat nomor tersebut lalu dipasangkan ke mobil, menutupi plat nomor kuning. Dan jadilah statusnya dari mobil angkutan umum menjadi mobil sewaan.

Mobil kembali berjalan meninggalkan Bulukumba. Kali ini lebih kencang dan lebih bebas karena bisa bebas dari tarikan pajak jalan angkutan umum. Mungkin ini alasannya pak sopir mengganti ke plat hitam. Lumayan, biaya pajaknya bisa dipakai untuk tambahan lauk. Selama perjalanan pun akhirnya pak sopir tidak ngompreng penumpang.

Perjalanan sudah memasuki Bantaeng, kali ini tidak lewat kota, tapi lewat jalur lingkar. Selepas jalur lingkar, mobil berhenti sejenak untuk istirahat makan siang. Sudah pukul 12.00. Menu makannya prasmanan dengan menu yang lumayan enak dan menggugah selera. Ada juga menu lain seperti mie rebus dan mie goreng. Saya memilih prasmanan dengan 3 lauk dan sayur, minum teh pucuk harum. Dengan makan demikian, totalnya hanya Rp 17.000. Murah lah untuk ukuran di kota orang. Masakannya juga enak

Pukul 12.30 mobil kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan sangat lancar, pak sopir juga jarang sekali membunyikan klakson, tidak seperti ketika naik bis Mahkota. Sepanjang jalan diiringi lagu-lagu lawas, sesekali ditemani hujan yang turun, kadang deras kadang gerimis.

Tanpa disadari, mobil sudah masuk ke Kabupaten Takalar, kemudian masuk ke Kabupaten Gowa. Tandanya perjalanan sudah hampir berakhir. Masih pukul 13.50 padahal. Mobil lajunya dipercepat menerobos kemacetan di simpang Gowa, lalu belok kiri menuju ke Terminal Malengkeri. Tepat pukul 14.20 mobil sudah terparkir di Terminal Malengkeri.


Saya bertanya angkutan ke Jl Daeng Tompo/ Pantai Losari karena hotel saya di daerah tersebut. Disuruh pakai taksi saja oleh pak sopir. Katanya hanya habis Rp 50.000. Tapi karena saya masih baru dan belum paham anatomi Makassar, daripada diputer-puterin dan habis banyak, saya memilih naik pete-pete (angkot) dari depan terminal. Toh katanya belum ke Makassar kalau belum naik pete-pete. Saya membayar mobil angkutan plat kuning yang saya naiki dari Bira. Cukup Rp 80.000 saja, sudah dapat mobil enak dan perjalanan cepat. Kemudian saya berjalan keluar terminal. Ada beberapa tukang ojek yang menawarkan jasanya. Tetapi begitu ditolak halus, mereka tidak mengejar lagi. Cukup ramah untuk ukuran kota yang baru dikunjungi.

Komentar

Postingan Populer