8 Hari Mencari Jati Diri: Ke Jakarta Aku Kan Kembali (Part 7)

Selasa, 11 Februari 2014 pukul 05.00 pagi. Saya terbangun, masih di depan peron Stasiun Besar Medan. Suasana ramai karena ARS paling pagi berangkat pukul 04.00. Saya dan Bang Tabis bergerak ke dalam stasiun ARS untuk membeli tiket ARS.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Kata penjaga loket yang masih pagi udah ngganteng aja pake jas
“Mau beli tiket ARS” Jawabku
“Untuk keberangkatan selanjutnya pukul 05.30, Mas”
“Wah, saya mau beli yang 11.10 aja.”
“Wow, siang sekali. Penerbangan Anda dengan pesawat apa? Jam berapa?”
“Lion Air jam 12.50.”
“Baik, ditunggu ya. Saya cetakkan tiketnya dahulu”
Kemudian setelah tiket tercetak, kami segera keluar dari stasiun. Tujuan saya kali ini adalah Jl Sekip untuk mencari Pancake Durian di Durian House. Katanya, Pancake di Durian House ini yang paling enak. Kami mencari angkot, dan kebetulan sopirnya mau mengantarkan sampai depannya Durian House. Hanya Rp 5000 saja per orang.
Tapi, kami tiba di Durian House ketika masih pukul 06.00, masih gelap gulita dan masih tutup. Akhirnya, karena Bang Tabis butuh internet, kami mampir di warnet depan Durian House sekip. Sementara saya tidur terlelap di meja internet.
Pukul 06.45. Kabarnya Durian House buka pukul 08.00. Artinya saya harus menunggu selama 1,5 jam. Bang Tabis jam 8 harus bekerja pagi. Maka, saya mengantarkan Bang Tabis naik angkot pulang ke rumahnya di Sunggal. Sementara saya kemudian memilih untuk menunggu di depan Durian House. Pukul 07.00, ternyata Durian House sudah buka. Saya langsung masuk ke dalam dan memesan Pancake Durian. Ternyata, Pancake Durian hanya tahan selama 12 jam jika tidak difreezer. Untuk kembali ke Durian Ucok pun juga cukup jauh. Akhirnya, dengan sedikit gambling, saya beli 2 box isi 10 dengan per box seharga Rp 85.000 (yang kemudian pada akhirnya semuanya basi karena hampir 18 jam ada diluar freezer, tapi terakhir saya coba sebelum akhirnya basi, rasanya enak sekali. Lebih enak daripada Durian Ucok) dan lempok (dodol) durian (tapi rasanya lebih enak dan lebih maut lempok durian Baturaja). Setelah transaksi beres, saya memilih untuk makan Mie Balap di depan Durian House sembari membuang waktu. Ibunya berusia paruh baya, tapi sangat baik, meskipun akhirnya menumpahkan sedikit sambel yang super duper pedes dan bikin mules ke atas mie saya.
Setelah selesai makan, kebetulan ada adik pengemudi becak disitu. Saya minta diantarkan ke stasiun. Lagi-lagi dikenakan tarif Rp 12.000 untuk menuju Stasiun. Mungkin becak disini serba 12000 ya -____-
Lagi-lagi becak yang saya naiki ini mengemudi layaknya Sumber Kencono. Masih muda sih yang mengemudi, sama saya masih lebih muda dia. Zig-zag, bahkan sempat nyetir lawan arus. Ini yang bikin saya lebih milih pura-pura tidur. Bahkan di depan Stasiun Medan, motong jalannya nggak biasa banget -_____-
Setelah menjalankan kewajiban membayar, saya masuk ke dalam stasiun besar untuk cetak tiket Jakarta-Jogjakarta. Setelah itu masuk ke stasiun ARS dan melaksanakan hajat harian setiap pagi yang Anda tau apalah itu namanya. Karena di stasiun sekarang nggak boleh mandi. Ini cukup memberatkan buat para backpacker, apalagi di sekitar Medan ini tidak ada toilet umum. Lapangan Merdeka juga baru diperbaiki.
Akhirnya saya memilih untuk cuci muka dan gosok gigi, lalu duduk di bagian paling ujung dekat jembatan penghubung stasiun lama dan baru. Lalu saya tertidur sambil duduk, sangat pulas sekali hingga dibangunkan petugas kereta sampai 4 kali. Dikiranya saya ikut kereta jam-jam awal. 
Di Stasiun ARS, saya nunggu disini 3 jam. Di dekatnya kios Killiney Kopitiam, sembari diliatin penumpang-penumpang yang lain gara-gara tidur sampe mangap-mangap saking lelahnya

Pukul 11.00, semua penumpang ARS pukul 11.10 dipersilakan masuk ke dalam kereta. Saya pun segera masuk ke kereta, lalu duduk, dan bersiap tidur. Sebelah saya sepertinya seorang pejabat dan saya nggak peduli itu saat itu karena ngantuk yang kronis. Selama perjalanan pun akhirnya saya tertidur sangat pulas karena AC yang dingin juga. Bangun-bangun sudah di exit tol bandara. Saya pun bersiap untuk turun.

Tepat pukul 11.47 kereta sudah tiba di Stasiun Kualanamu. Saya bergegas turun untuk melihat Bandara Kualanamu siang hari. Ternyata, kalau siang ramai sekali dan lebih mirip.......terminal. Petunjuk kurang jelas, kebetulan ada beberapa calo tiket dan calo bis bertebaran. Masuk ke Bandara tidak dilakukan checking barang bawaan seperti lazimnya di Juanda atau Adisutjipto. Pengunjung boleh masuk sampai batas gate. Dan yang jelas seperti biasanya, counter Lion Air selalu sampah dalam melayani pengunjung. Cuma counter Lion Soekarno-Hatta dan Juanda saja yang sedikit bener dalam pelayanan. Semua barang ditimbang dulu, dilabeli satu-satu. Per orang memakan waktu lebih dari 15 menit, sementara waktu boarding semakin mepet. AirAsia dan Malaysia Airlines saja sudah pakai standart dimensi barang bawaan supaya antriannya tidak mengular. Selain itu pelayannya rese, judes, tanpa senyum, udah gitu ngetiknya lama sekaleee...Penumpangnya pun banyak yang main serobot. Diantaranya ada yang sudah berusia cukup tua, tapi main serobot saja. Sama penumpang lainnya disuruh pindah paling belakang.

Setelah keributan mengurus boarding pass beres, saya bergerak masuk ke area boarding. Lagi-lagi petunjuknya tidak jelas dan penumpang tercampur dengan pengantar. Ini kondisi paling tidak aman yang pernah saya rasakan di Bandara ketika pengantar tercampur dengan penumpang. Jadi tidak bisa membedakan mana yang benar-benar pengantar dan mana yang ‘pengantar’. Saya memasuki area boarding dan segera mencari Gate 12 yang berada di paling ujung. Ada travelator memang, tapi sangat tidak efektif. Tidak mempercepat langkah malah memperlambat langkah. Lajunya lambat, dan pasti beda dengan Changi. Di Kualanamu orang lebih suka pakai travelator sambil diam dan ngobrol. Di Changi, meskipun travelator cepat, tapi orang tetap berjalan di atas travelator untuk mempercepat waktu tempuh.

Saya masuk ke dalam ruang tunggu yang saya katakan lebih mirip sama ruang tunggu rumah sakit umum yang sangat ramai berjubel. Saya sudah kehilangan kebanggaan dengan Bandara Kualanamu. Untuk Airport Taxnya Cuma Rp 35.000. Siapa itu mentri atau pejabat yang bilang kalau airport taxnya Kualanamu bakalan jadi Rp 100.000? Ya kalau kaya gini sih namanya gak seimbang. Tetep bandara di Indonesia terbaik yang pernah saya kunjungi ya tetap Bandara Juanda Sidoarjo. Entah itu Terminal 1 atau Terminal 2.

Saya menanti pesawat yang belum-belum sudah delay jadi jam 13.15. Isuk delay sore tempe...

Saya melewati waktu lagi-lagi dengan tidur. Ya bagaimana nggak ngantuk, lha wong 2 hari nggak tidur. Pun itu kalau disuruh jalan lagi kemana gitu, sebenarnya saya masih sanggup. Budgetnya yang nggak sanggup. Tjong A Fie, Istana Maimun, dan rumah makan Tip Top saja batal saya kunjungi gara-gara waktu mepet.

Tak lama kemudian, kami dipanggil untuk masuk pesawat. Saya Cuma bawa tas kamera, sementara carrier saya masuk bagasi karena nggak lolos pemeriksaan gara-gara beratnya mencapai 18 kg (padahal di Malaysia Airlines saya iseng-iseng nimbang Cuma 12 kg. Ditambahin lempok kecil 2 sama pancake durian 2 masak iya beratnya sampai ketambahan 6 kg). Saya dapat kursi di bagian belakang dan tepatnya di kursi yang tengah diapit 2 orang lainnya. Aslinya sih dapet yang di deket gang, tapi karena orangnya pengen tukar, ya sudahlah. Mulai dari pesawat take off dengan halus sampai hampir mendarat, saya menghabiskan waktu untuk tidur. Apalagi kata pilot cuaca cukup buruk. Pesawat pun beberapa kali bergetar dahsyat.

Bangun-bangun, pilot menyatakan bahwa pesawat sudah akan mendarat di Jakarta. Sementara kondisi sekitar berawan tebal. Pesawat mulai turun pelan-pelan. Cukup lama, tapi kondisi sekitar tetap hanya awan-awan. Pesawat turun sambil bergetar-getar. Pikiran saya mulai buruk. Mungkin bisa jadi pesawatnya nggak bakal landing dengan mulus, kaya dulu habis pulang dari Lombok pesawatnya landing di Juanda dengan posisi miring. Lion Air juga.

Ternyata, setelah mendekati daratan, cuaca mulai terlihat meskipun sedikit berkabut, dan pesawat bisa landing dengan baik meskipun agak kasar. Saat turun, ada orang marah-marah gara-gara pilot bilangnya turun di terminal 1B ternyata dipindah ke 1C. Marah-marah yang nggak penting dan nggak patut dicontoh. Toh terminal 1 itu kecil. Pindah antara terminal 1A-C itu Cuma deket. Ngesot aja sampai.

Usai pengurusan bagasi selesai, saya beli tiket Damri dan saya tanya kalau mau ke Pasar Senen turun mana. Gold Option dari mbaknya, saya turun di Gambir lalu cari angkutan ke Senen. Saya kurang tertarik dengan opsi ini karena saya butuh mandi dan butuh makan. Satu-satunya daerah yang saya kenal paling lengkap (toilet bersih, makan enak dan murah) itu ya Cuma Rawamangun. Sevel ada, tahu pedas ada, toilet terminalnya juga bersih banget, indomaret juga ada, semuanya ada. Akhirnya saya pilih naik Damri Rawamangun. Kali ini saya tidak tidur karena bawaan bisnya kenceng, sekaligus melihat Jakarta yang macet.
Pukul 17.15 saya sudah tiba di Terminal Rawamangun. Niat awalnya sih mau naik bis ke Purwokerto atau ke Semarang. Tapi karena kondisi Pantura saat itu masih banjir dimana-mana, saya takut kehabisan waktu di jalan. Apalagi jadwal setelah tanggal 12 ini masih belum jelas. Jadi saya memutuskan beli tiket kereta di Berastagi. Sebenernya pengen jajal Bejeu atau Haryanto yang trayek Prambanan atau Sinar Jaya. Tapi yasudahlah, toh sering banget kok pergi ke Rawamangun.

Saya memanfaatkan fasilitas kamar mandi yang luas dan bersih di Rawamangun untuk mandi dan bersih diri. Airnya bersih, sudah gitu Cuma diminta bayaran Rp 2000. Kamar mandinya juga tenang, tidak begitu ramai, dan sudah pasti terminal Rawamangun adalah terminal yang aman. Calo-calonya tidak seganas di Pulogadung atau Tanjung Priok. Saya bersantai sejenak di Rawamangun sebelum beranjak ke Sevel buat beli bekal. Sekali-kali jadi Anak Gaul Jakarte.

Pukul 18.00, sudah cukup gelap disini. Kereta masih pukul 21.15 dari Senen, jadi masih agak santai. Saya beli makan malam dulu di Rawamangun. Beli makan di kereta pasti mahal sekali, apalagi kantong mepet banget. Ada banyak menu disana: Soto Betawi, penyetan, seafood, pempek, soto ayam, bubur jakarta, bahkan D’Cost pun juga ada. Saya memilih nasi uduk yang jual tempe bacem. Nasi yang banyak, ayam dada, tempe bacem 2, dan es teh Cuma bayar Rp 18.000. Bagi saya murah untuk ukuran Jakarta. Kalau di depan Stasiun Senen, makan nasi, telor, tempe, sayur, es teh saya pernah kena Rp 20.000.

Pukul 19.00 saya baru selesai makan. Saya bergegas menuju ke Halte Trans Jakarta Rawamangun. Ini satu-satunya solusi transportasi yang terbaik dan termurah menuju ke Pasar Senen. Cukup Rp 3500 sudah bisa sampai Senen meskipun oper 1 kali. Trans Jakarta sepertinya mengalami penurunan pelayanan. Biasanya waktu tunggu Cuma sekitar 10 menit, kali ini lebih dari 30 menit. Pukul 20.05 saya baru naik ke Trans Jakarta tujuan Matraman. Perjalanannya cepat sih, sekitar 20 menit ke Matraman. Dari Matraman saya pindah naik bis tujuan Senen, tapi ternyata salah bis. Saya naik bis yang tidak lewat bawah jembatan layang, tapi lewat atas. Akibatnya, saya harus ganti bis gandeng ke arah Senen Sentral lagi.

Saya cukup familiar dengan Stasiun Senen dan area sekitarnya karena dulu awal 2013 saya pernah ke Senen sendirian. Jadi sudah tidak bingung lagi jika jalan kaki. Setibanya di Stasiun Senen, langsung masuk peron karena tiket sudah ditukar di Medan. Tepat pukul 21.00 saya tiba di Senen. Jadi masih ada waktu menunggu Senja Utama Solo yang akan saya naiki sembari makan tahu pedas yang saya beli di Rawamangun, salah satu tahu pedas favorit saya kalau berkunjung ke Rawamangun.

Pukul 21.30 kereta masuk Stasiun Senen. Sudah pasti kereta akan terlambat tiba di Jogja, datangnya saja terlambat. Saya segera naik ke gerbong 3 dan menempati tempat duduk. Begitu kereta berangkat, saya langsung tertidur pulas, bahkan ketika teman sebangku saya memesan berbagai makanan, ngolet sana-sini gara-gara AC yang dingin, saya tetap tidur dengan pulas sekali.

Komentar

Postingan Populer